wb_sunny

Pacaran, Budaya Zina

Pacaran, Budaya Zina


Beberapa bulan yang lalu masyarakat pernah dikagetkan oleh beredarnya buku teks sekolah yang mengajarkan “Pacaran Islami”. Terpampang ilustrasi seorang lelaki berpakaian islami dan seorang perempuan dengan balutan jilbab, dengan judul sub-bab Pacaran yang Islami. Setelah dikecam, buku sejenis malah kembali beredar akhir-akhir ini. Bahkan sedikit lebih berani. Buku dengan judul ''Saatnya Aku Belajar Pacaran' yang ditulis oleh Toge Aprilianto. Buku ini sangat menyesatkan, bukan hanya karena mengkampanyekan pacaran tapi juga secara terbuka mempromosikan seks bebas kepada remaja. Di salah satu halaman, Toge menulis, “Jadi, kalau pacar kamu ngajak ML, kamu boleh saja nurutin maunya dia, kalau kamu sanggup. Artinya, kamu mau ngelakuin itu n kamu juga siap ngadepin akibat dari perilaku ML”.

Setelah menerima berbagai kritikan publik akhirnya penulis meminta maaf dan menarik bukunya dari peredaran. Namun menurut beberapa tokoh masyarakat bahwa permintaan maaf saja tidak cukup, tapi Toge juga harus dipidana karena telah melakukan perbuatan yang merusak moral bangsa.

Pacaran dan Dendam Barat pada Agama
Menurut wikipedia, pacaran adalah fase pra-pernikahan. Menurut bahasa inggris, pacaran adalah menjadikan seseorang sebagai pasangan. Akan tetapi bisa juga dimaknai sebagai 'bermain seks' antara lawan jenis (opposite sex). Selain itu pacaran juga bisa dinyatakan sebagai tunangan, atau pelamaran menuju pernikahan.

Defenisi ini tentu berangkat dari latar belakang masing-masing kebudayaan. Di mana satu istilah bisa ditafsiri dengan berbagai macam pendekatan bergantung cara pandang seseorang. Cara pandang ini dibentuk oleh worldview, dan darimana status, dan nilai sesuatu.

Seekor babi, bagi seorang kristian, dapat dinikmati dengan berbagai hidangan. Namun bagi seorang muslim, bagaimana pun daging babi dimasak, dibakar atau digoreng oleh seorang chief profesional, ia tetap menjadi tidak nikmat dan tidak boleh untuk dinikmati.

Pacaran, sangat bergantung erat pada pemaknaannya. Di mana jika makna itu dibawa pada ruang kebebasan (freedom) dan penghargaan kesamaan hak (egality), maka pacaran akan diterima jika dilakukan tanpa mengganggu orang lain. Pandangan seperti itu berasal dari Pandangan Alam Barat (western worldview). Pandangan yang bebas dari nilai agama. Pandangan yang dipengaruhi 'trauma agama'. Menurut mereka, agama telah membuat mereka terkekang. Setiap hal yang mereka lakukan harus membawa Tuhan. Makan, tidur, belajar, senyum semuanya harus didasarkan untuk Tuhan. Dan dalam kondisi seperti itu, ilmu pengetahuan terkekang oleh doktrin gereja. Sehingga mereka hidup dalam keterbelakangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Akhirnya, setelah renaissance, dan keberhasilan doktrin sekulerisme menguasai negara Eropa dan Amerika di abad pertengahan (Medieval Age) kemajuan di letakkan pada pandangan yang harus bebas dari agama, wahyu dan tuhan.

Adian Husaini menulis, “Dendam Masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti-pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clerisme”di Eropa abad ke-18. Sebuah ungkapan di zaman itu, “berhati-hatilah, jika anda berada di depan seorang wanita, berhati-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta” (Wajah Peradaban Barat; dari Dominasi Kristen ke Sekuler Liberal, GIP: Jakarta, 2014, hlm. 39.) 

Pacaran Berasal dari Tradisi Barat
Di Indonesia, cara pandang barat yang membuang agama, meng-infiltrasi pandangan masyarakat dan berwujud dalam pelaksanaannya. Pacaran secara umum, dimulai dari proses pendekatan, pengenalan pribadi, hingga akhirnya menjalani hubungan afeksi yang ekslusif. Dalam tradisi pacaran, ada kesepakatan publik, bahwa pacaran adalah hal yang lumrah, ditandai dengan ungkapan lelaki dan diterima oleh perempuan, komitmen bersama, dan berlanjut dengan interaksi yang lebih intim berupa pelukan, ciuman, dan sebagian(besar)nya berlanjut pada hubungan seksual.

Hal ini pun diamini oleh media, dan dilihat sebagai tema-tema yang sangat potensial. Diyakini akan meraup keuntungan jika dijadikan sebagai tema dalam karya seni (nyanyian, sinetron, iklan, dll). Sehingga terbentuk lingkaran ketergantungan (lingkaran setan). Media mengikuti trend dan trend dibentuk media.

Akhirnya, karena mengadopsi konsep barat seperti ini, orang-orang pun membawanya pada ruang penerapan yang bertentangan dengan budaya timur dan melayu. Dalam budaya Timur, kehormatan diri seorang perempuan memiliki posisi yang tinggi. Sehingga, tidak demikian mudah diumbar dan dinikmati lewat proses “pacarisasi” apalagi berujung pada “hamilisasi”.

Hampir setiap hari kita mendengar adanya kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh sang pacar. Belum lagi kasus aborsi akibat hubungan di luar nikah. Bunuh diri karena patah hati. Hingga pembunuhan oleh sang pacar dengan berbagai motif. Itu semua menjadi bukti akan rusaknya tatanan masyarakat yang mengekor pada budaya dan tradisi barat, terlebih khusus dalam masalah pergaulan lawan jenis.

Oleh karena itu, bagaimana sebenarnya tatacara pergaulan yang terbaik?  

Tuntunan Pergaulan dalam Islam

Dalam islam, ada aturan pergaulan yang sudah tertuang sangat jelas dalam al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Diantaranya; 

Menjaga Pandangan
 
Bukti keimanan seorang lelaki adalah kemampuannya mengendalikan diri dari godaan lawan jenisnya. Dalam al-Qur'an disebutkan (yang artinya), “Katakan kepada laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS.An Nur : 30).

Menundukkan pandangan dari hal yang diharamkan Allah adalah pengorbanan. Dan setiap pengorbanan untuk Allah akan diganti dengan balasan yang jauh lebih baik. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang Muslim sedang melihat keindahan wanita kemudian ia menundukkan pandangannya, kecuali Allah akan menggantinya dengan ibadah yang ia dapatkan kemanisannya.” (HR. Ahmad).

Begitu pula dengan hadits, “Semua mata pada hari kiamat akan menangis, kecuali mata yang menundukkan atas apa yang diharamkan oleh Allah, mata yang terjaga di jalan Allah dan mata yang menangis karena takut kepada Allah.” (HR. Ibnu Abi Dunya) 

Menutup Aurat Secara Sempurna

Dalam al-Qur'an disebutkan (yang artinya), “Hai Nabi, katakan kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mukmin hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka, yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, hingga mereka tidak diganggu.  Dan Allah Maha Pengampun lahi Maha Penyayang.” (QS. al-Ahzab:59).

Demikian pula hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hai Asma, sesungguhnya perempuan itu apabila telah sampai umur (baligh), maka tidak patut menampakkan sesuatu dari dirinya melainkan ini dan ini. Rasulullah bersabda sambil menunjukkan kepada muka dan telapak tangan hingga pergelangannya sendiri.” (HR. Abu Dawud dan Aisyah)

Batas aurat seorang wanita minimal adalah aurat seperti ia dalam shalatnya. Dan batas aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. 

Menghindari Suara Mendayu
 
“Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain, jika kamu bertakwa, maka janganlah kamu rendahkan (mendayu) dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al Ahzab:32).

Salah satu pintu yang mengarahkan pada perbuatan faahisyah antara dua lawan jenis adalah suara yang mendayu. Dan setiap lelaki bisa merasakan bagaimana pengaruh suara seorang perempuan yang mendayu. Apalagi sengaja didayu-dayukan. 

Larangan Berdua-duaan (berkhalwat)
 
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian bersunyi-sunyi dengan perempuan lainnya kecuali disertai mahramnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Menikah atau berpuasa
 
“Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang mampu nikah, maka menikahlah, sesungguhnya nikah itu bagimu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, maka jika kamu belum sanggup berpuasalah, sesungguhnya puasa itu sebagai perisai” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian seharusnya hubungan dan pergaulan lawan jenis dalam Islam. Yang jika dilihat bahwa Islam sama sekali tidak mengakomodir hubungan antara laki-laki dan wanita kecuali melalui jalur pernikahan. Jika seorang laki-laki belum mampu maka puasa adalah solusi untuk menahan gejolak syahwat dan tentu saja membuatnya lebih dekat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Syamsuar Hamka, S.Pd

(Redaksi Al-Balagh)

Tags